BPS Segera Keluarkan Data terkait UM

Catatan Pagi

“BPS Segera Keluarkan Data terkait UM”

Penetapan kenaikan upah minimum (UM) saat ini mulai dibicarakan, khususnya di kalangan Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB). Seperti biasa, sebagai masalah tahunan, penetapan UM untuk tahun depan menjadi polemik, kalangan pengusaha menginginkan kenaikan yang rendah (kalau bisa tidak naik) sementara SP/SB mengharapkan kenaikan UM tahun depan sekitar 7 – 10%.

Di PP 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan (selanjutnhya disebut PP 36), penetapan UM Propinsi dituangkan dalam Keputusan Gubernur dan diumumkan paling lambat tanggal 21 November tahun berjalan (Pasal 29 ayat (1)), sementara UMK ditetapkan dengan Keputusan Gubernur dan diumumkan paling lambat tanggal 30 November tahun berjalan (Pasal 35 ayat (2)). UM berlaku tanggal 1 Januari tahun berikutnya.

Di era UU No. 13 Tahun 2003, dan sebelumnya, penentuan UM dilakukan dengan melakukan survey kebutuhan hidup buruh ke pasar dan hasilnya dinegosiasikan di dewan pengupahan, namun sejak hadirnya PP No. 78 Tahun 2015 penentuan UM dilakukan menggunakan rumus penjumlahan inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam prakteknya ada beberapa Gubernur yang tidak mematuhi rumus di PP No.78 tersebut, dan tidak diberi sanksi.

Pada UU Cipta Kerja junto PP 36, penentuan UM tahun depan sangat diatur ketat oleh rumus-rumus, dengan beberapa variable. Belum lagi ketika harus menetukan UM Kabupaten/Kota (UMK) baru, yang sebelumnya tidak memiliki UMK, rumusnya sangat ruwet dengan variable yang lebih banyak.

Dengan rumus-rumus tersebut tidak dibuka ruang negosiasi di antara dewan pengupahan untuk menentukan UM baru, atau menentukan apakah sebuah kabupaten/kota bisa memiliki UM untuk pertama kalinya. Dewan Pengupahan hanya menghitung dan merekomendasikan nilai UM baru.

Demikian juga Gubernur yang diberi kewenangan menetapkan UM di UU Cipta Kerja malah dilarang menetapkan UM baru oleh PP 36 bila nilai Batas Atas (BA) lebih kecil dari nilai UM yang ada saat ini (eksisting). Hak Prerogatif Gubernur menetapkan nilai UM disandera PP 36. Bila Gubernur melanggar, akan diberi sanksi sesuai ketentuan perundangan yang ada.

Untuk penentuan kenaikan UM Propinsi (UMP) dan UMK, dibutuhkan data konsumsi rata-rata perkapita, rata-rata banyaknya anggota rumah tangga, rata-rata banyaknya anggota rumah tangga yang bekerja, pertumbuhan ekonomi dan inflasi di wilayah tersebut.

Data konsumsi rata-rata perkapita, rata-rata banyaknya anggota rumah tangga, dan data rata-rata banyaknya anggota rumah tangga yang bekerja dihitung berdasarkan survey ekonomi sosial nasional pada Bulan Maret setiap tahunnya. Data pertumbuhan ekonomi didasari pada pertumbuhan ekonomi propinsi yang dihitung dari Kuartal IV tahun sebelumnya dan periode kuartal I, II dan III tahun berjalan. Sementara perhitungan inflasi didasari inflasi propinsi yang dihitung dari periode September tahun sebelumnya sampai dengan September tahun berjalan.

Perhitungan BA menentukan naik atau tidaknya UM, ditentukan oleh konsumsi rata-rata perkapita, rata-rata banyaknya anggota rumah tangga, dan rata-rata banyaknya anggota rumah tangga yang bekerja. Semakin tinggi angka pengangguran di suatu daerah, nilai BA akan semakin besar. BA yang besar mendukung nilai UM semakin besar.

Bila BA lebih tinggi dari UM eksisting maka ada kenaikan UM, namun bila BA lebih rendah dari UM eksisting, gubernur dilarang menetapkan UM baru. Ini artinya tidak ada kenaikan UM di tahun berikutnya. Berapa persen kenaikannya, itu akan dihitung dengan melibatkan inflasi atau pertumbuhan ekonomi propinsi, dipilih mana yang lebih besar.

Untuk menentukan kehadiran UMK baru, dihitung berdasarkan data Paritas Daya Beli atau Purchasing Power Parity (PPP) Kabupaten/Kota dan PPP Propinsi, data tingkat penyerapan tenaga kerja TPT), data Median Upah Kabupaten/Kota serta Propinsi. Variabel-variabel tersebut dihitung berdasarkan nilai rata-rata tiga tahun terakhir dari data yang tersedia pada periode yang sama.

Data-data tersebut merupakan data publik yang seharusnya sudah dipublikasi oleh Badan Pusat Statistik (BPS), institusi yang diamanatkan Pasal 26 ayat (8) sebagai sumber data perhitungan UM. Dengan data-data tersebut, dewan pengupahan dapat menghitung UM. Demikian juga SP/SB dapat menghitungnya sehingga mendapat gambaran berapa nilai UMP/K tahun depan. Saya berharap BPS segera merilis data-data tersebut.

Dengan kondisi pandemi saat ini, kemungkinan kenaikan nilai UMP/K di tahun depan sekitar 1 – 2,5 persen, relatif sama dengan nilai inflasi. Kemungkinan ada juga UMP/K yang tidak naik karena BA-nya lebih rendah dari UMK eksisting. Untuk UMP/K yang tidak naik, daya beli buruh akan tergerus inflasi.

Untuk daerah yang belum memiliki UMK, saya berharap dewan pengupahan daerah menghitung dengan cermat sesuai amanat Pasal 32 dan 33 PP 36, sehingga diharapkan seluruh kabupaten/kota (sebanyak 514 kabupaten/kota) memiliki UMK. Nilai UMK baru lebih tinggi dari nilai UMP. Diharapkan SP/SB juga menghitung sebagai bahan pembanding atas hitungan dewan pengupahan.


Menanti Kerja Nyata Dewan Pengupahan

Kehadiran dewan pengupahan tingkat propinsi dan kabupaten/kota tidak hanya menghitung angka-angka dan merekomendasikan nilai UM, tetapi juga memberikan saran dan pertimbangan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota tentang perumusan pengembangan sistem pengupahan di daerahnya. Dewan pengupahan tingkat nasional memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Pusat tentang perumusan kebijakan pengupahan dan pengembangan sistem pengupahan nasional.

Dari tugas ini, sebenarnya ada potensi daya beli pekerja tidak bertumpu pada nilai UM semata, tetapi juga dapat didukung oleh Pemerintah Pusat dan Daerah. Namun hingga saat ini sepertinya tugas dewan pengupahan ini tidak pernah dilakukan. Sistem pengupahan kita hanya jalan di tempat, hanya berkutat pada penentuan UM saja sehingga tiap tahun terus terjadi perselisihan hingga gugat menggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara.

Saya menantang dewan pengupahan bisa lebih kreatif dan inovatif merumuskan pengembangan sistem pengupahan dan kebijakan pengupahan ke depan. Harus ada hal baru yang bisa dirumuskan, dan bisa dikomunikasikan kepada SP/SB dan masyarakat sehingga sistem pengupahan kita tidak hanya bertumpu pada UM saja.

Semoga dewan pengupahan di semua tingkatan benar-benar menjalankan tugasnya seperti yang diamanatkan Pasal 71 PP 36, dengan lebih kreatif dan inovatif. SP/SB dan masyarakat menunggu kerja-kerja nyata dewan pengupahan.

Pinang Ranti, 6 Oktober 2021

Tabik

Timboel Siregar

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top